Dulu sekali di di pertengahan tahun 70an, ibu selalu membelikanku buku bacaan. Entah itu buku pelajaran sekolah maupun buku cerita.
Rasanya hampir satu bulan sekali ia bawa buku baru itu sehabis kembali dari usahanya di pasar.
Bapak juga senang dengan melihat yang ibu lakukan dan juga dengan kemajuanku di sekolah. Meski sehari-harinnya ia bekerja di sawah yang dimilikinya, namun bangga dengan  nilai rata-rata raportku yang selalu di angka tujuh hingga kelas enam sekolah dasar.
Karena itu aku berterima kasih pada ibu terutama. Karena itu aku sering bertanya, mengapa ibu rutin membelikanku buku sejak aku duduk di kelas lima hingga sekarang?
Jawabnya seperti biasa saja, agar aku pandai, dan bisa meraih cita-cita menjadi dokter.
Suatu hari dua minggu sebelum ujian atau Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) Sekolah Dasar, ibu membelikanku lagi sebuah buku. Tapi aku lihat bukan buku bacaan yang biasa ia beli.
Tapi ibu membelikanku buku matematika yang tebal. Aku kaget, lalu melihat buku itu halaman demi halaman. Bapak seperti biasa saja melihatnya dan tersenyum senang.
Kata ibu,"pelanggan ibu tadi menunjukkan buku seperti itu untuk melatih soal ujian. Lalu ibu ke toko buku untuk membelinya."
"Iya Bu. Terima kasih. Tapi.. ."
"Tidak usah tapi, Nak. Ibu senang kamu sebentar lagi akan lulus sekolah dasar, dan melanjutkan ke SLTP. Tetap semangat belajarnya."
Aku semula menganggukkan kepala saja turuti kata ibu.Tapi kemudian aku bilang pada bapak dan ibu, aku masih kelas enam SD. Buku yang ibu beli bukan untuk anak SD, tapi ini buku latihan soal matematika untuk masuk perguruan tinggi.