Jika melihat eksistensi partai politik di Indonesia, setidaknya ada dua fragment yang mewakili kelompok tertentu di Indonesia; partai nasionalis dan Islam. Keduanya memang tak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya negara ini. Namun, seiring perubahan zaman, kedua representasi partai ini nampak jauh saling bersebrangan satu sama lain.
Yang pertama semakin diterima oleh rakyat, di samping membangun idealismenya, partai nasionalis juga kerap beradaptasi dengan pragmatisme politik yang berkembang di Indonesia. Sedangkan yang kedua sebaliknya, partai Islam semakin lama, semakin kehilangan idealismenya sebagai parpol berlambang Islam dan tak banyak diminati oleh rakyat.
Dalam perjalanannya, partai Islam sesungguhnya mengalami pertumbuhan yang sangat luar biasa, terutama Pasca Reformasi. Saat itu, keran-keran demokrasi yang ditutup oleh pemerintah Orde Baru, mulai dibuka di Era Reformasi. Sehingga melahirkan banyak partai-partai Islam.
Tercatat, di tahun 1998-1999 ada 140 partai yang lahir dan 28-nya adalah partai Islam. Kemudian, di Pemilu 1999 jumlah partai mulai mengerucut menjadi 47 dan 19 partai mengidentifikasikan diri sebagai partai Islam. Selanjutnya, pada pemilu 2004 partai Islam hanya tersisa 5, sedangkan pada 2009 bertambah menjadi 6.
Dan hingga kini, kita melihat partai-partai Islam di Indonesia semakin lama, semkain tidak menarik dan tak diminati oleh rakyat. Hal ini, tentu saja berbanding terbailk dengan jumlah mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam.
Mengapa semakin terkikis?Â
Menurut disertasi Zainal Abidin Rahawarin di UIN Sunan Kalijaga, ada beberapa problematika yang dialami oleh partai Islam hari ini, sehingga pamornya tak lagi tajam seperti dahulu.
Beberapa masalah tersebut di antaranya; syahwat kekuasaan di antara elit muslim, munculnya politik aliran dan fragmentasi politik muslim, serta menguatnya politik kepentingan. Sehingga ada asumsi yang lahir bahwa partai Islam hari ini hanya membawa simbol-simbol Islam saja.
Hampir senada dengan asumsi di atas, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra juga mengeluhkan hal yang demikian. Menurutnya, kekuatan politik Islam semakin lama, semakin terkikis oleh pragmatisme politik dan merajalelanya politik uang di tubuh partai-partai bersimbol Islam.
Padahal, kata Yusril, dua simbol kekuatan politik di Indonesia yaitu Islam dan nasionalisme harus tetap ada. Tentu saja, keberadaan keduanya, akan melahirkan keseimbangan dalam berdemokrasi dan silang pendapat satu sama lain.