Entah apa sebabnya tiba2 dalam minggu2 terakhir ini Pemerintah begitu getol melarang dan mengancam dengan pidana para importir pakaian bekas, padahal selama ini dibiarkan saja. Kebijakan Pemerintah untuk barang "bekas" yang satu ini memang ibarat anget2 tai ayam. Kadang2 Pemerintah begitu kerasnya ingin menegakkan hukum, kemudian senyap dan diam lagi dalam waktu yang lama.
Fenomena impor pakaian bekas di Indonesia atau lebih kerennya yang biasa disebut juga sebagai "pakaian secondhand" dari luar negeri, terutama dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Malah banyak juga dari negara2 Asia, seperti Jepang, Korea, Hongkong dan negara tetangga Indonesia Singapura, Malaysia dan Thailand.
Impor pakaian bekas di Indonesia telah ada sejak lama dan terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang di Indonesia memilih untuk membeli pakaian bekas karena harganya lebih terjangkau dibandingkan dengan pakaian baru. Selain itu, pakaian bekas juga bermerk, dianggap memiliki nilai kualitas tinggi dan mengikuti tren mode.
Jadi pakaian bekas impor tidak hanya sekedar murah sehingga bisa merusak industri pakaian jadi Indonesia, tetapi juga merupakan barang bermerk (branded) terkenal yang berkualitas tinggi dan mengikuti tren mode. Merk2 terkenal yang mahal dan sebagai simbol gaya hidup yang biasa dijual di Mall2 mewah berpendingin udara seperti di Plaza Indonesia atau di Grand Indonesia Jakarta bertebaran di lapak2 pasar2 kumuh di Indonesia. Merk apapun  seperti ;
Chanel, Louis Vuitton, Dior, Yves Saint Lauren, Hermes, Balenciaga, Givenchy, Lanvin, Gucci, Prada, Armani, Versace, Dolce & Gabbana, Fendi, Valentino, Salvatore, dll. Begitu juga merk2 fashion terkenal di bidang olah raga seperti Nike, Adidas, Puma, Under Armour, Reebok, Asics, New Balance, dll tinggal sebut, dipastikan ada di lapak2 penjual baju bekas.
Selain daripada itu, bagi kaum milenial ada gaya hidup, berbelanja kebutuhan yang lagi tren yaitu thrifting.
Thrifting adalah praktik mencari barang-barang bekas yang masih layak pakai, seperti pakaian, sepatu, aksesoris, dan perabotan rumah tangga, di toko barang bekas atau penjualan barang bekas seperti garage sale, bazaar, dan pasar loak. Praktik ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang ingin menemukan barang-barang berkualitas dengan harga yang lebih terjangkau daripada membeli barang-barang baru di toko-toko ritel. Selain itu, thrifting juga dianggap sebagai cara untuk mengurangi limbah dan memberikan kesempatan kedua pada barang yang masih memiliki nilai.
Bagi yang berdomili di kota2 besar di Indonesia dengan mudah menjangkau lapak2 penjual baju bekas misalnya mereka hadir dan siap melayani konsumen pemburu baju bekas antara lain ada di Pasar Senen - Jakarta, Pasar Baru - Jakarta, Pasar Karat - Surabaya, Pasar Atom - Surabaya, Pasar Klewer - Solo, Pasar Beringharjo - Yogyakarta, Pasar Pagi - Bandung, Pasar Cikapundung - Bandung, Pasar Kembang - Semarang, Pasar Tanah Abang - Jakarta.
Yang disebutkan di atas sebatas kota2 besar di Indonesia, sebetulnya kehadiran penjualan baju bekas juga merambah kota2 kecil seperti mereka juga hadir di Pasar Lereng Bukittinggi, sehingga fenomena penjualan baju bekas telah masif di Indonesia.
Bahkan beberapa artis Indonesia tidak malu2 menyatakan bahwa mereka pernah berbelanja baju bekas impor. Beberapa artis Indonesia yang pernah menyatakan bahwa mereka menyukai pakaian bekas impor antara lain: Luna Maya, Raisa Andriana, Afgan Syahreza, Bunga Citra Lestari, Gading Marten, Dian Sastro, Ayushita Nugraha dan Nadine Chandrawinata. Alasan mereka membeli pakaian bekas tentunya bukan karena murah harganya, akan tetapi karena modis dan unik.
Keunikannya ternyata terletak pada selain alasan bermerk juga karena ada barang jenis tertentu sudah tidak diproduksi lagi oleh produsennya. Jadi motivasi pemburu baju bekas jenis ini akan sangat puas bila bisa menemukan baju bekas bermerk yang sudah langka.
Namun, impor pakaian bekas juga memiliki dampak negatif bagi industri tekstil dalam negeri. Pakaian bekas yang diimpor dapat bersaing dengan produk-produk pakaian dalam negeri yang masih baru, sehingga mengurangi permintaan dan penjualan pakaian buatan dalam negeri. Selain itu, impor pakaian bekas juga dapat mengancam kesehatan dan lingkungan karena dapat membawa masalah kesehatan dan lingkungan dari negara-negara asalnya.