Sumber: Pinterest.com
Ditinggalkan oleh Bapak untuk selamanya adalah hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Rasanya begitu cepat, bahkan di saat aku belum benar-benar mengenal Bapak dengan baik.
Sejak kecil, aku tidak terlalu dekat dengan Bapak. Ibuku meninggal di saat aku masih duduk di bangku SMP dan aku di rawat oleh Budeku yang tak memiliki anak. Ketika itu aku masih sering bertemu dengan Bapak walau tak lagi tinggal serumah. Bapak masih sering mengunjungiku di rumah Budeku.
Tapi setahun kemudian, saat akhirnya aku lulus SMP, Budeku pun mengirim aku ke sebuah pesantren. Aku hanya pulang dua kali dalam setahun. Itu membuatku semakin jauh dan jarang bertemu dengan Bapak, hanya beberapa kali saat ada kesempatan kunjungan wali santri di pesantren.
Enam tahun aku nyantri, aku pun akhirnya pulang.
Entah apa yang ada di benakku saat baru menginjakkan kaki di rumah. Aku merasa bahwa aku ingin lebih dekat dengan Bapak. Sedari kecil aku belum bisa membalas apapun kepada Bapak. Aku pun memutuskan kembali tinggal bersama Bapak dan kakakku yang sudah menikah.
Setiap kali melihat Bapak selepas pulang bekerja, rasanya aku tidak tega. Usia Bapak yang semakin menua, membuatnya terlihat sangat berbeda sejak terakhir kali aku tinggal bersamanya dulu. Rambutnya memutih, pundaknya membungkuk, wajahnya keriput, dan tubuhnya renta termakan usia.
Aku sempat beberapa kali menangis sendirian, entah kenapa. Aku tidak menyesal karena meninggalkan Bapak dan menghabiskan masa remajaku di pesantren. Hanya saja hatiku rasanya sedikit tersayat karena sebagai anak perempuan aku belum bisa menggantikan posisi ibu  mengurus Bapak.
Aku pernah mengatakan hal ini pada Bapak. Namun jawabannya cukup membuatku terharu. "Bapak tidak apa-apa, Nak. Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Balas budimu pada Bapak cukup menjadi anak yang baik, taat, dan tidak membangkang pada orang tua. Kamu mau sekolah, mau ngaji, mau berjuang mencari ilmu, itu sudah lebih dari cukup buat Bapak. Kamu sudah memberikan hadiah terindah untuk Bapak."
Aku pun tak ingin menyia-nyiakan waktuku lagi. Entah apa yang aku rasakan, seperti ada firasat yang tak bisa aku jelaskan. Aku tidak mau jauh dari Bapak, aku selalu menyempatkan waktu untuk bercerita dan bercanda banyak hal dengan Bapak, dan hampir setiap momen bersama Bapak aku seringkali mengabadikannya lewat jepretan di ponselku.